Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah
Saw pernah memegang bahuku sambil bersabda, ‘Jadilah engkau di dunia
seolah-olah orang asing atau pengembara’. Ibnu Umar berkata, ‘Kalau
datang waktu sore jangan menanti waktu pagi. Kalau tiba waktu pagi
jangan menanti waktu sore. Gunakan sebaik-baiknya sehatmu untuk waktu
sakitmu dan masa hidupmu untuk waktu matimu. (HR. Bukhari)
Imam Nawawi menyebutkan hadits ini dalam rangkaian
hadits Arba’in, karena menyimpan makna dan pesan yang sangat penting,
utamanya bagi seorang muslim. Pesan Rasulullah shallallahu ’alaihi
wasallam kepada Ibnu Umar ra ini bukanlah termasuk nasihat khusus,
tetapi merupakan pesan umum yang berlaku bagi siapapun dan seyogyanya
kita pahami sebagai arahan dan petunjuk yang akan meningkatkan kualitas
dan produktivitas hidup kita.
Jika kita perhatikan dengan baik hadits diatas, kita
mendapati beberapa poin mendasar sebagai prinsip hidup dan pesan moral
bagaimana mestinya seorang muslim memberdayakan diri dan waktunya.
“Jadilah engkau di dunia seolah-olah orang asing atau
pengembara.” Perumpamaan ini sangatlah tepat. Kehidupan dunia bukanlah
tujuan akhir dari perjalanan hidup karena perjalanan hidup yang
sesungguhnya baru akan berakhir di terminal akhirat. Perjalanan hidup di
dunia penuh dengan lika-liku, tantangan dan rintangan yang besar
kecilnya dan berat tidaknya bergantung kepada kesiapan dan kemampuan
seseorang menghadapinya. Sudah selazimnya kita mempersiapkan diri dengan
bekal yang dibutuhkan berdasarkan pemahaman yang benar akan tabiat dan
karakter perjalanan hidup ini. Harapannya, sebagaimana orang asing yang
sedang menempuh perjalanan panjang, bilamana menjumpai persoalan atau
mengalami kesulitan maka kita akan mampu mengatasinya dengan baik. Bekal
yang paling penting dalam hal ini adalah bekal iman dan taqwa kita
kepada Allah yang karenanya kita dapat menghimpun modal amal saleh
sebanyak-banyaknya.
Perumpamaan yang disampaikan oleh Nabi ini juga
menganjurkan kita untuk hidup dengan zuhud di dunia ini. Artinya, jangan
sampai kita tergantung dan terikat dengan dunia, karena tidak selamanya
kita berada di dunia ini. Sebagaimana orang asing, hendaknya kita tidak
terlalu disibukkan dengan urusan dunia sehingga lupa akhirat. Dan
sebagaimana pengembara yang tidak akan membawa beban berat yang bisa
menyusahkan perjalanannya, demikian pula hendaknya kita mengambil yang
secukupnya saja dari kenikmatan-kenikmatan dunia sehingga kita tidak
akan berat untuk meninggalkan dunia dan isinya ketika Allah menetapkan
ajal kita.
Dengan sabdanya ini, Nabi juga mengajarkan kepada kita
untuk tidak terlalu panjang angan-angan. Tentu yang dimaksud adalah
angan-angan keduniaan. Kita harus sadar bahwa ajal yang misterius akan
memutus panjangnya angan-angan kita. Dalam riwayat Bukhari, Anas ra
berkata, ”Nabi membuat garis seraya bersabda, ’Ini manusia, ini
angan-angannya, sedangkan ini ajalnya. Ketika dia sedang berada dalam
angan-angan, tiba-tiba datanglah kepadanya garisnya yang paling dekat.’
Maksud dari ’garisnya yang paling dekat’ adalah ajal kematiannya.
“Kalau datang waktu sore jangan menanti waktu pagi.
Kalau tiba waktu pagi jangan menanti waktu sore. Gunakan sebaik-baiknya
waktu sehatmu untuk waktu sakitmu dan masa hidupmu untuk waktu matimu.”
Ini adalah ungkapan yang penuh makna dari Ibnu Umar. Sungguh waktu dan
usia kehidupan dunia sangatlah pendek. Oleh karena itu Ibnu Umar
menasihati kita agar bersegera dalam beramal dan tidak suka
menunda-nunda hingga tanpa sadar ajal tiba-tiba menjemput kita. Kalau
ajal sudah menjemput sementara kita belum sempat beramal kebajikan
karena selalu kita tunda-tunda di dunia, maka kita akan menyesal tanpa
guna di akhirat. Kita akan merengek-rengek kepada Allah agar kita
dikembalikan ke dunia ini lagi sehingga kita bisa beramal. Akan tetapi
ketika itu mustahil seseorang akan dikembalikan lagi ke dunia.
Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan setiap detik
dalam kehidupan kita di dunia ini dengan amal-amal kebaikan. Kita harus
bersemangat untuk beramal yang sebanyak-banyaknya di dunia ini. Sangat
tidak tepat jika yang justru dominan dalam diri kita adalah sifat malas,
hura-hura, suka kemaksiatan dan hal-hal lain yang tidak produktif serta
tidak memberi nilai kemanfaatan apapun untuk masa depan kehidupan kita.
Terlebih lagi di era dimana roda kehidupan berputar sangat cepat, penuh
dengan trik dan intrik negatif, godaan kehidupan serta budaya
materialisme dan hedonisme yang semakin menggiurkan. Semua itu sangat
berpotensi melalaikan seseorang dari tujuan hidupnya yang hakiki.
Rasulullah saw bersabda, ”Diantara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah jika ia mampu meninggalkan hal-hal yang tidak memberi manfaat kepadanya.”
(HR Tirmidzi). Seorang muslim ideal adalah yang sikap hidupnya
berorientasi pada nilai produktivitas dan efektivitas. Dia bukan tipe
orang yang malas bekerja, suka berhura-hura, suka berfoya-foya, begadang
semalaman tanpa tujuan, kongko-kongko di pinggir jalan,
bersenang-senang menghabiskan uang, berbuat sesukanya tanpa larangan,
dan seterusnya.
Kita harus memanfaatkan setiap kesempatan dalam hidup
ini untuk berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya. Kesempatan adalah sesuatu
yang tidak selamanya ada. Seseorang tidak akan selalu dalam keadaan
sehat maupun lapang, gembira dan meraih kesuksesan. Sesekali bahkan
seringkali ia harus mengalami kegundahan, kegagalan, kekurangan dan
hal-hal lain yang tidak ia harapkan. Itulah gambaran kehidupan dunia.
Selanjutnya tinggal bagaimana sikap kita. Pada saat sehat segeralah
melaksanakan hak dan kewajiban. Kita harus beribadah, berkarya dan
bekerja sebaik mungkin, berpikir dan berbuat untuk kebaikan diri dan
orang lain. Kita juga harus menjaga kesehatan kita dengan mengkonsumsi
makanan yang baik, berolahraga dan cara-cara lain yang makruf. Ini kita
lakukan agar Allah memberikan kesehatan yang langgeng kepada kita
sehingga kita bisa beramal lebih banyak.
Ungkapan Ibnu Umar diatas juga mengingatkan kita untuk
tidak membiasakan diri menunda-nunda pekerjaan. Jika suatu pekerjaan
bisa dilakukan pada waktu sore, janganlah kita menundanya hingga esok
pagi. Jika suatu pekerjaan bisa dilakukan pada pagi hari, jangan pula
kita menundanya hingga sore hari. Setiap waktu memiliki tuntutan dan
haknya masing-masing. Jika kita menunda suatu pekerjaan hingga nanti,
maka kita akan mendapati pada waktu nanti itu pekerjaan akan bertumpuk:
pekerjaan saat itu dan pekerjaan yang tadinya kita tunda. Jika demikian,
apakah kita masih mau menunda sebuah pekerjaan?
(SUMBER DI SINI)
(SUMBER DI SINI)