"Menyebarluaskan Pengetahuan..."

Thufail bin Amru Ad-Dausi “Fitrah yang Lurus”

Thufail bin Amr Ad-Dausi, seorang bangsawan yang mulia dan bijaksana. Ia juga dikaruniai bakat sebagai penyair hingga nama dan kemahirannya termasyhur di kalangan sukunya, bani Daus di Yaman.

Ia sering pergi ke Mekah. Pada suatu hari, saat ia berkunjung ke kota suci itu, Rasulullah sudah berdakwah secara terang-terangan. Orang-orang Quraisy takut kalau Thufail menemui Rasulullah dan masuk Islam, lalu menggunakan bakatnya sebagai penyair untuk membela Islam. 

Oleh karena itu, mereka terus mendampinginya, menjamunya dengan segala kesenangan, kemewahan dan kenikmatan. Mereka menakut-nakutinya agar tidak berjumpa dengan Rasulullah apalagi mendengarkan ucapannya. 

Thufail pun bertekad untuk tidak mendengar sesuatu pun dari Rasulullah dan tidak menemuinya. Ia menutup telinganya dengan kapas. Namun disana dia mendapati Rasulullah sedang shalat di dekat Ka’bah. Thufai berdiri di dekat Rasulullah. Lalu, Allah berkehendak memperdengarkan kepadanya apa yang sedang dibaca oleh Rasulullah. 

Thufail mendengarkan ucapan yang sangat indah keluar dari mulut Rasulullah. Ia tetap berdiri disana hingga Rasulullah pulang ke rumah. Ia mengikuti Rasulullah hingga masuk rumah. 

Ia berkata kepada Rasulullah, “Wahai Muhammad, kaummu telah bercerita kepadaku tentang dirimu begini dan begini. 

Demi Tuhan, mereka terus menakut-nakutiku tentang dirimu, hingga kututupi telingaku dengan kapas agar tidak mendengar perkataanmu. Akan tetapi, Allah menghendaki aku mendengarnya dan aku mendengar ucapan yang indah. Karena itu jelaskan kepadaku perkaramu.” 

Kemudian Rasulullah menjelaskan tentang Islam kepadanya dan membaca Al-Qur’an. “Demi Allah, aku tidak pernah mendengar ucapan yang lebih baik dari itu, dan perkara yang lebih benar dari itu.” kata Thufail.

Lalu iapun masuk Islam. Ia mengucapkan kalimat syahadat. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini seorang yang ditaati oleh kaumku, dan sekarang aku akan kembali kepada mereka, mengajak mereka kepada Islam. Maka mohonkanlah kepada Allah agar aku diberi tanda yang dapat membantuku dalam menyeru mereka.” Maka Rasulullah berdoa, “Ya Allah, berilah kepadanya suatu tanda.”

***

Baru saja telinganya mendengar beberapa ayat mengenai petunjuk dan kebaikan yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, semua pendengaran dan hatinya terbuka, lalu tangannya terbentang untuk menyatakan keislaman. 

Tidak berhenti disana, ia langsung merasa bertanggung jawab untuk mengajak keluarga dan kaumnya kepada agama yang benar dan jalan yang lurus ini. Ia memaparkan kepada ayahnya, ibunya, lalu kepada istrinya tentang apa yang sekarang menjadi keyakinannya. 

Ia juga bercerita tentang Rasulullah yang mengajak ke jalan Allah, bagaimana keagungan, kesucian, kejujuran, keikhlasan dan ketaatan beliau kepada Allah, Tuhan semesta alam. Saat itu juga ayah, ibu dan istrinya memeluk Islam.

Setelah merasa puas karena seisi rumahnya telah masuk Islam, ia beralih mengajak kerabat dan kaumnya untuk masuk Islam. Ternyata tidak seorangpun dari mereka yang masuk Islam, kecuali Abu Hurairah.

Kaumnya menghinanya dan menjauh darinya. Akhirnya ia tidak sabar lagi menghadapi mereka. Ia mengendarai kudanya, menempuh perjalanan jauh untuk bertemu Rasulullah dan mengadukan permasalahanya, sekaligus meminta bekal dari ajarannya.

Setibanya di Mekah, ia bergegas menuju rumah Rasulullah. Ia berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku tidak mampu menghadapi perzinahan dan riba yang merajalela di desa Daus. Maka, mohonkanlah pada Allah agar Ia menghancurkan Daus.”

Thufai sangat terkejut ketika dilihatnya Rasulullah menegadahkan kedua tangannya ke langit dan berdoa, “Ya Allah, tujukilah orang-orang Daus, dan datangkanlah mereka ke sini sebagai orang-orang Islam.” 

Rasulullah menoleh kepada Thufail dan berkata, “kembalilah kepada kaummu. Ajaklah mereka dan bersikap lembutlah kepada mereka.”

Peristiwa ini benar-benar mempesona Thufail. Jiwanya penuh kedamaian. Ia tidak habis-habisnya memuji Allah yang telah menjadikan Rasulullah yang penyayang ini menjadi guru dan membimbingnya.

Dengan semangat ia kembali kepada kaumnya. Disana, ia terus mengajak mereka kepada Islam dengan penuh kehati-hatian dan lemah lembut seperti Rasulullah.

Selama masa yang dilaluinya di tengah-tengah kaumnya, di sisi lain Rasulullah telah berhijrah ke Madinah, telah melewati Perang Badar, Uhud dan Khandaq.

Ketika Rasulullah sedang berada di Khaibar, usai membebaskan daerah itu dari tangan orang-orang Yahudi, ada rombongan besar yang terdiri dari delapan puluh keluarga Daus datang menghadap Rasulullah sambil membaca tahlil dan takbir. Mereka duduk di hadapan Rasulullah berjanji setia (berbaiat) kepada Rasulullah secara bergantian.

Allah benar-benar telah memberi hidayah kepada penduduk Daus. Mereka datang sebagai orang-orang Islam, seperti yang dahulu pernah didoakan oleh Rasulullah.

***

Thufail melanjutkan perjalanan hidupnya bersama kaum muslimin yang lain. Pada peristiwa pembebasan kota Mekah, ia ikut memasuki kota Mekah bersama 10 ribu kaum muslimin lainnya, tanpa merasa sombong dan besar kepala, tetapi malah sebaliknya, menundukkan kepala dengan khusyu’ dan rasa hormat sebagai ucapan syukur kepada Allah yang telah memberikan pembebasan kota Mekah dan kemenangan besar.

***

Ketika Rasulullah wafat, Thufail melihat bahwa tanggung jawabnya sebagai Muslim tidak berhenti dengan wafatnya beliau. Ketika pertempuran dengan orang-orang murtad berkobar, Thufail menyingsing lengan bajunya, terjun mengalami pahit getirnya hal itu dengan semangat baja, mengharapkan syahid. Pertempuran demi pertempuran terus ia ikuti.

Pada pertempuran Yamamah, ia berangkat bersama kaum muslimin dengan menyertakan putranya, Amru bin Thufail. Sejak awal pertempuran, ia telah berpesan kepada putranya agar berperang dengan gagah berani.

Thufail berperang dengan gagah berani. Ia sama sekali tidak takut. Ia tidak menggunakan pedangnya untuk melindungi nyawanya. Bahkan sebaliknya, ia menjadikan nyawanya untuk melindungi pedangnya, sehingga jika ia gugur kelak, pedangnya tetap utuh dan bisa dipergunakan oleh rekan-rekannya.

Benar, dalam pertempuran itu Thufail gugur sebagai syahid. Ia roboh oleh sabetan pedang. Ia sempat melambai kepada anaknya yang samar-samar dilihatnya, seakan mengajak ikut serta.

Begitulah akhir kehidupan Thufail bin Amru Ad-Dausi. Ia menjemput mautnya dengan indah, gugur sebagai syuhada di medan perang yang membela agama Allah.











Bagikan:

Arsip