GADIS YANG SUCI
Ayahandanya adalah Thalhah bin Ubaidillah at-Taimi al-Qurasyi, satu dari sepuluh orang shahabat yang dijanjikan surga, salah seorang shahabat terbaik dan demawan.
Rasulullah Shalallahu `alaihi wa Sallam, memberikan sebutan 'Thalhah al-Juud (sang dermawan)' , 'Thalhah al-Khair (yang baik)' dan 'Thalhah al-Fayyadh (yang sangat gemar berderma)'. Pernah suatu ketika beliau memanggilnya ash-Shabih, al-Malih, al-fashih (yang sangat cemerlang, ramah dan fashih berbahasa). Cukup sudah kebanggaan baginya sebagai salah satu dari delapan orang yang terdahulu masuk Islam.
Sedangkan ibunya adalah Ummu Kultsum binti Abi Bakr at-Taimi al-Qurasyi, seorang tabiiniyah yang mulia. Ibu Ummu Kultsum, Habibah binti Kharijah al-Anshariyyah melahirkannya saat setelah Abu Bakar ash-Shiddiq meninggal dunia. Dan Ummu Kultsum inilah yang dikatakan oleh Abu Bakar kepada Aisyah Radhiyallahu `Anha -putrinya saat akan wafat, “Sesunggunya mereka berdua adalah dua saudaramu laki-laki dan dua saudaramu perempuan.” Aisyah Radhiyallahu `Anha menimpali, “Ini Asma yang sudah saya mengerti, lalu mana yang lainnya?" Abu Bakar menjawab, “Adalah yang ada di kandungan binti Kharijah (yakni istrinya, Habibah yang tengah mengandung Ummu Kultsum)."
Bibi Aisyah binti Thalhah ini adalah Aisyah Ummul Mukminin, juga bibi yang lainnya adalah Dzatun-Nithaaqain Asma binti Abu Bakar . Inilah keluarga yang suci mulia yang menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya Aisyah binti Thalhah bin Ubaidillah, yang mendapat sebutan Ummu Imran at-Taimi al-Qurasyi. Tak heran, dari keluarga demikian lahirlah seorang putri yang jelita dan cerdas. Namun tak hanya berbekal keturunan, Aisyah binti Thalhah sangat giat menuntut ilmu, dan itulah yang membuatnya mulia.
Guru Aisyah binti Thalhah adalah bibinya sendiri, Aisyah putri Abu Bakar. Karena kecerdasannya, ia menjadi murid terkemuka istri Rasulullah, Aisyah RA dan turut meriwayatkan banyak hadis. Seorang ulama besar, Imam Ibnu Katsir mengutip perkataan gurunya, "Tak ada wanita yang lebih pandai dibanding ketiga murid Bunda Aisyah. Mereka adalah Amrah binti Abdurrahman, Hafsah binti Sirin dan Aisyah binti Thalhah."
Allah Subhanahu wa Ta‟ala mengaruniainya kecantikan yang memikat, seakan-akan ia adalah salah satu bidadari surga yang ada di dunia ini. Adalah Abu Hurairah Radhiyallahu `Anhu melihatnya lalu berkata. “Saya tidak melihat seorang pun yang lebih cantik (indah) dari Aisyah binti Thalhah, kecuali Muawiyah saat berada di atas mimbar Rasulullah Shalallahu `alaihi wa Sallam.”
Senada dengan ini adalah pernyataan dari Anas bin Malik Radhiyallahu `Anhu “Sungguh demi Allah, saya tidak pernah melihat seorang yang lebih cantik darimu, kecuali Muawiyah saat berada di atas mimbar Rasulullah Shalallahu `alaihi wa Sallam". Maka ia menjawab, “Sungguh demi Allah, sesungguhnya saya lebih baik dari api di mata orang yang menggigil pada malam yang sangat dingin.”
PERNIKAHANNYA
Aisyah binti Thalhah menikah dengan saudara sepupu (anak paman dari ibu)nya, ia menikahinya atas saran dari Aisyah Ummul Mukminin, sedangkan nama suaminya adalah Abdullah bin Abdur-Rahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu `Anhu. Ia mempunyai anak laki-laki darinya bernama Imran, dan dengan anaknya itu ia mendapatkan sebutan Ummu Imran, lalu Abdur-Rahman, Abu Bakar, Thalhah dan Nafisah.
Anaknya yang bernama Thalhah bin Abdullah termasuk orang yang sangat dermawan dan tokoh terhormat dari kalangan Quraisy. Adalah al-Huzain ad-Daili, seorang penyair yang menuturkan sifat dermawan dan nasabnya:
Apabila engkau berikan aku seekor unta besar yang mudah bagimu, wahai Thalhah! Dermamu kepadaku tidak hanya sekali dua kali, akan tetapi berkali-kali. Ayahmu dahulu seorang yang membenarkan Rasul Pilihan, selalu mengikuti beliau kemanapun berjalan.
Dan ibumu, wanita cemerlang dari suku Taimi. Jika orang dihubungkan nasabnya pada suku tersebut, maka adalah kebanggaan baginya.
Setelah suaminya Abdullah bin Abdur-Rahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq meninggal dunia, ia dinikahi oleh pemimpin Iraq saat itu, Mush‟ab bin az-Zubair al-Qurasyi al-Asadi, ia seorang ksatria pemberani, tampan dan menarik, tentang sifat-sifatnya seperti yang digambarkan oleh Ubaidillah bin Qays ar-Ruqayyat: Sungguh, Mush‟ab adalah macan dari Allah, tampak dari wajahnya ketegasan. Singgasananya adalah singgasana kemuliaan. Tanpa kemewahan dan keangkuhan senantiasa bertaqwa kepada Allah dalam segala urusan. Sungguh beruntung orang yang mencita-citakan ketaqwaan.
Setelah meninggalnya Mush‟ab, Aisyah menikah lagi dengan Umar bin Ubaidillah bin Ma‟mar at-Taimi, ia tinggal bersamanya selama delapan tahun, dan suaminya ini meninggal tahun 82 H, lalu ia menangis dengan berdiri. Menurut kebiasaan bangsa Arab, apabila seorang wanita menangisi suaminya yang mati dengan berdiri, maka mereka mengetahui bahwa sang istri tidak akan menikah lagi sesudahnya.
PERAWI YANG CERDAS
Aisyah binti Thalhah orang yang paling mirip dengan bibinya, Aisyah Ummul Mukminin, orang yang paling dicintainya, orang yang paling berhasil dibimbing oleh Aisyah radhiyallahu `Anha dalam hal ilmu dan adabnya, sebab ia telah berguru kepadanya, begitu juga meriwayatkan darinya, dan hadits-hadits yang diriwayatkannya di-Takhrij-kan dalam kelompok hadits-hadits yang shahih.
Ia mengutip ilmu, adab dan ilmu-ilmu seputarnya dari bibinya, sehingga menjadi tabiin perempuan terbaik yang menjadi perawi hadits. Dan darinya banyak tokoh-tokoh tabiin dan ulamanya yang meriwayatkan hadits, diantaranya adalah: anaknya sendiri, Thalhah bin Abdullah, keponakannya –Thalhah bin Yahya, keponakannya yang lain –Muawiyah bin Ishaq, juga Minhal bin Amr, Fudhail bin Amr al-Faqimi, Hubaib bin Abu Amrah, juga Atha' bin Abi rabah dan Umar bin Said juga yang lain-lainnya.
AISYAH DALAM PANDANGAN ULAMA
Tidak diragukan lagi, bahwa seorang wanita tabiin seperti Aisyah binti Thalhah yang tumbuh dalam keluarga besar Rasulullah Shalallahu `alaihi wa Sallam, jika kemudian menjadi tokoh wanita dalam ilmu, kedudukan dan kejujurannya. Karenanya banyak ulama dan tokoh-tokoh besar yang mengenal riwayat hadits dan memiliki pengalaman dengan ilmuilmunya memberikan pujian dan apresiasi yang positif. Cukup baginya sebagai kebanggaan tatkala seorang Imam Jarh dan Ta‟dil, tokoh ilmu hadits dan imam bagi para ahli-hadits di jamannya Yahya bin Ma‟yan memasukkannya dalam golongan perawi yang tsiqat dan hadits-haditsnya dijadikan sebagai hujjah (sandaran argumentasi hukum).
Dia mengatakan, “Perawi yang tsiqat dari kalangan wanita adalah Aisyah binti Thalhah, ia seorang rawi yang tsiqah dan haditsnya sebagai hujjah.”
Sementara itu, Abu Zar‟ah ad-Dimasyqi memberikan pujian, dan menuturkan keutamaan dan kedudukannya dengan mengatakan, “Aisyah binti Thalhah adalah seorang wanita mulia yang meriwayatkan hadits dari Aisyah Ummul-Mukminin, dan banyak orang yang meriwayatkan hadits darinya karena kedudukan dan adabnya.” Dalam komentar pujian terhadapnya, al-`Ajli mengatakan, “Aisyah binti Thalhah seorang wanita yang berpikiran positif, seorang tabiin dan tsiqah.” Begitu juga dalam kitab `ats-Tsiqat‟ Ibnu Hibban memasukkan namanya dan memberikan pujian kepadanya.
Dan dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, Imam Ibnu Katsir mengutip pernyataan dari gurunya al-Mazziy, “Tidak ada dalam golongan perempuan yang lebih pandai dari murid-murid perempuan dari Aisyah Ummul-Mukminin, mereka adalah Amrah binti Abdur-Rahman, Hafshah binti Sirin dan Aisyah binti Thalhah.”
KEHORMATAN BAGI AISYAH
Aisyah binti Thalhah menghabiskan banyak waktunya untuk berdzikir, lidahnya tidak lelah untuk melantunkan tasbih di pagi dan sore hari, menjadikan jiwanya bersih dengan kejernihan yang menjadikannya istimewa diantara anak-anak perempuan Thalhah, ini dilakukan dalam rangka menunaikan suatu hal penting yang dilihatnya dalam mimpi.
Banyak literatur menyebutkan dengan merangkum semuanya, bahwasanya Aisyah melihat ayahnya dalam mimpi setelah tiga puluh sekian tahun wafatnya sang ayah, dalam mimpinya sang ayah berkata kepadanya, “Wahai putriku, keluarkanlah aku dari air yang menyakitiku ini, sesungguhnya air rembesan ini sangat menggangguku.”
Maka saat terjaga dari tidurnya, ia mengumpulkan teman-temannya kemudian bergegas menaiki kudanya bersama letihnya menuju kuburan sang ayah lalu menggalinya, lalu ia mendapatinya seperti sediakala saat dikuburkan, tidak berubah sehelai rambutpun, sisi badannya berona hijau seperti bilur air yang mengalir padanya.
Pembongkaran itu dipimpin oleh Abdur-Tahman bin Salamah al-Taimi, kemudian ia melipatkan beberapa lipat kain padanya. Sementara Aisyah binti Thalhah membeli sebidang tanah dari Abu Bakarah di Bashrah lalu menguburkan ayahnya disana, dan kemudian membangun masjid di sampingnya. Para wanita penduduk Bashrah datang membawa minyak wangi kesturi dan menyiramkannya ke kuburan Thalhah. Kuburan itu pun menjadi tambah harum dan tersohor ke seluruh Bashrah.
Aisyah senantiasa menjadi wanita langka di jamannya, dengan kisah yang penuh kebaikan dan keindahan, langkah dan etika, kehormatan dan keilmuan hingga wafat pada tahun 101 H. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada Aisyah binti Thalhah, dan memejamkan kedua-matanya dengan penuh kenikmatan.
Allahu a'lam...