"Menyebarluaskan Pengetahuan..."

Tanda-Tanda Kenabian Muhammad SAW

Menginjak usia 12 tahun, Rasulullah SAW berkata kepada pamannya, Abu Thalib,“Wahai Pamanku, saya ingin belajar berdagang.”. Rasulullah SAW mengulangi permintaannya, “Pamanku, saya mohon, ajaklah saya berdagang”. 

Sang Paman kemudian menjawab, “Kau masih kecil, sedangkan perjalanan perdagangan jauh, ke Syam”. 

Rasulullah kembali menjawab, “Tidak apa-apa, saya mau ikut”. Sampai-sampai Rasulullah SAW menempel di baju pamannya, memohon agar pamannya mengijinkannya ikut berdagang ke Syam. 

Akhirnya Abu Thalib menyetujui, “Baiklah. Ayo kita berdagang ke Syam.”.

Maka berangkatlah beliau bersama pamannya dan rombongan kafilah dagang Makkah menuju ke Syam. Kafilah ini adalah sebuah rombongan dagang yang besar, lebih dari 70 iring-iringan unta yang dibawa. Kalau rombongannya lebih kecil, hanya 5-10 unta, maka disebut firqah. Rasulullah SAW adalah anggota kafilah yang termuda. 

Dalam perjalanan, kafilah tersebut melewati suatu tempat yang disebut Bushra, hanya melintas saja, bukan singgah. Bushra ini adalah tempat berkumpulnya orang-orang nasrani, atau dalam istilah kita sekarang, tempat pesantrennya orang-orang nasrani, atau kampungnya orang nasrani.

Di Bushra ini ada seorang rahib atau pendeta terkemuka, bernama Bahira. Dari jauh, Bahira memperhatikan bahwa ada yang aneh dengan kafilah yang melintas di daerahnya tersebut. 

Keanehannya adalah kafilah itu selalu dinaungi oleh awan, di atas kafilah itu selalu ada awan yang mengikutinya. Pasti ada sesuatu di kafilah ini, gumam Bahira. 

Sampai ketika kafilah itu berhenti di suatu tempat, terlihat oleh Bahira bahwa awan itu pun berhenti. Maka Bahira berkata kepada murid-muridnya,“Wahai muridmuridku, engkau lihat kafilah di sana? Sampaikan kepada kafilah tersebut, bahwa sesungguhnya aku, Bahira, mengundang mereka untuk makan bersama.” 

Lalu makanan untuk kafilah tersebut pun disiapkan.

Kemudian datanglah utusan Bahira menemui kafilah tersebut, “Wahai kafilah, aku adalah utusan dari Bahira, sesungguhnya Bahira mengundang kalian semua untuk makan bersama. Semuanya diundang, tidak ada seorangpun yang tertinggal.”

Maka datanglah rombongan kafilah tersebut memenuhi undangan Bahira, lalu mereka duduk di tempat yang telah disediakan. Setelah duduk semua, Bahira masuk ke ruangan tersebut, lalu melihat satu per satu tamunya yang hadir, rombongan kafilah. Tetapi ternyata yang dicarinya tidak ada.

Maka Bahira bertanya, “Siapa pemimpin kafilah ini?”. 

“Saya pimpinannya.” Jawab salah seorang dari kafilah tersebut. 

Bahira kembali bertanya, “Apakah anggota kafilahmu sudah datang ke sini semuanya?”. 

Pimpinan kafilah tersebut kembali menjawab “Wahai Bahira, semuanya telah hadir di tempat ini, kecuali seorang anak. Kami perintahkan dia untuk menjaga barang-barang di sana.”

Mendengar jawaban itu, Bahira agak sedikit marah, seraya berkata “Bukankah sudah kukatakan supaya datang semuanya ke tempat ini untuk makan bersama?”

Karena sebenarnya rahasia kenapa Bahira mengundang semua anggota kafilah untuk datang makan bersama adalah untuk mencari tahu siapa yang menyebabkan ada awan yang selalu menaungi kafilah tersebut. 

Bukan hanya sekedar makan-makan, tapi ketika dari semua yang hadir, Bahira tidak menemukan yang dicarinya, tidak ada satupun di antara yang datang yang memiliki tanda kenabian, maka Bahira mempertanyakan, apakah ada yang tidak datang.

Sang pimpinan kafilah kembali menerangkan, “Wahai Bahira. Yang tidak datang adalah seorang anak karena kami suruh dia untuk menjaga barang-barang.”. 

Bahira kemudian berkata, “Panggillah anak itu kemari.”. 

Anak yang dimaksud itu tidak lain tidak bukan adalah Rasulullah SAW yang saat itu berusia 12 tahun.

Baru saja beliau berjalan memasuki ruangan, Bahira sudah gemetar, jantungnya berdegup keras, “Ini cara jalannya nabi akhir zaman,” gumam Bahira, tak sanggup berkata. Baru melihat jalan kaki beliau saja, Bahira sudah mengetahui, bahwa tanda-tanda nabi akhir zaman ada pada diri Rasulullah SAW.

Lalu Rasulullah SAW duduk di depan Bahira. Bahira kemudia berkata “Wahai anak kecil,”. “Atas nama Uzza, dan atas nama Latta, aku bertanya kepadamu.”. 

Nabi Muhammad kemudian menjawab “Engkau jangan bertanya kepadaku atas nama Uzza dan Latta. Sungguh, tidak ada yang aku benci kecuali Uzza dan Latta. Bertanyalah kepadaku atas nama Allah,”.

Dalam hatinya Bahira membenarkan, “Memang di dalam injil, seorang nabi tidak pantas untuk menyukai apalagi menyembah Uzza, Latta, dan berhala-berhala lainnya,” kata batinnya, “Luar Biasa! Anak ini, 12 tahun sudah menyatakan, tanyalah atas nama Allah.”

Bahira kemudian melanjutkan perkataannya, “Baik, aku akan tanya atas nama Allah, siapa namamu?”. 

Nabi menjawab, “Namaku adalah Muhammad.”.

Bergetar Bahira ketika mendengar nama tersebut .Rasulullah SAW masih duduk dengan tenang di depan Bahira. Bahira tak berkedip menatap beliau, anak berusia 12 tahun tapi luar biasa kepribadiannya.

Bahira kembali melanjutkan pertanyaannya “Dari kabilah mana?”. 

“Bani Quraisy, Arab” Jawab Nabi Muhammad.

Tak diragukan lagi. Bahira semakin yakin. Karena bani Quraisy asalnya dari Mekkah, dan Mekkah adalah tempatnya nabi Ismail As. 

“Perlihatkan pundakmu kepadaku,” pinta Bahira. Rasulullah heran, tapi tetap menunjukkan pundaknya. Di sana Bahira melihat tanda kenabian, cincin nubuwah, stempel kenabian di pundak Rasulullah SAW.

Itulah sebabnya ada beberapa hadist, hadits hasan, yang menyatakan, “Seluruh nabi memiliki tanda kenabian di pundaknya.” Sayangnya tidak pernah ada yang mengecek pada nabi Ibrahim, nabi Musa, nabi Yusuf, nabi Isa ataupun nabi-nabi lainnya. Tapi yang pernah banyak terlihat adalah tanda kenabian pada nabi Muhammad SAW.

Melihat tanda-tanda kenabian pada Rasulullah SAW, Bahira semakin yakin, “Anak ini sudah pasti adalah seorang nabi.”, Kemudian Bahira berdiri, dan mengarahkan pandangannya kepada seluruh rombongan kafilah yang hadir, kemudian bertanya “Wahai kafilah bani Arab, di antara kalian, siapa yang bertanggung jawab terhadap anak ini?” seraya menunjuk kepada Rasulullah SAW.

Abu Thalib menjawab, “Aku yang bertanggung jawab atas anak itu.”. 

Selanjutnya terjadi percakapan antara Abu Thalib dengan Bahira.

Bahira: “Apa hubunganmu dengan anak ini?”.

Abu Thalib: “Dia adalah anakku.”

Bahira: “Bukan, dia tentu bukan anakmu.”

Abu Thalib: “Dia sudah kuanggap sebagai anakku sendiri, namun sesungguhnya dia adalah anak saudaraku.”

Bahira: “Kapan ayahnya meninggal?”

Abu Thalib: “Ketika dia masih di dalam perut ibunya.”

Bahira: “Kau benar,”. “Aku sudah tahu dari kitab Injil bahwa seorang nabi tidak akan dilahirkan kecuali ayahnya sudah wafat, dan akan dibesarkan oleh pamannya.”. “Maka aku yakin bahwa dia adalah seorang nabi,”. “Dan di dalam kitab Injil telah tertulis bahwa nabi ini akan singgah di Bushra ini. Maka kami, kaum nasrani selalu menjaga di tempat ini.”. “Kenapa?” “Karena nanti nabi akhir zaman akan singgah di sini. Dan sekarang terbukti sudah.”. “Muhammad ini adalah calon nabi yang akan datang,”. “Tapi maaf, rahasia ini sudah diketahui oleh para Yahudi. Saya yakin tidak lama lagi orang Yahudi akan datang mencari Muhammad untuk dibunuhnya. Maka sebelum Yahudi datang, segera pulangkan Muhammad kembali ke Makkah,”.

Setelah itu, Abu Thalib mengutus seorang pembantunya untuk langsung mengantar Rasulullah pulang kembali ke Mekkah. Tak menunda-nunda lagi, saat itu juga, selesai makan, langsung berangkat menuju Mekkah.

Tidak lama setelah itu, beberapa saat saja setelah Rasulullah SAW berangkat, tiba-tiba datang para penunggang kuda. Selanjutnya terjadi percakapan antara para kafilah dengan para penunggang kuda.

Penunggang Kuda: “Apakah rombongan di sini adalah kafilah Arab?” Tanya penunggang kuda itu.

Kafilah: “Ya”.

Penunggang Kuda: “Apakah di antara kalian ada yang bernama Muhammad?”.

Kafilah: “Tidak ada”

Penunggang Kuda: “Jangan bohong!”

Maka salah seorang penunggang kuda tersebut turun untuk memeriksa. Yahudi itu bermaksud memeriksa anggota kafilah yang hadir, karena Yahudi juga tahu tanda-tanda kenabian dari Taurat.

Setelah memeriksa berkeliling, ternyata tidak ditemukan tanda-tanda kenabian di antara para tamu yang hadir. Karena itu, mereka pulang lagi, kembali ke daerah Yahudi.

Abu Thalib bertanya kepada Bahira, apa yang terjadi sebenarnya?. 

“Itu adalah Yahudi, datang kemari untuk mencari Muhammad.” jawab Bahira. 

Abu Thalib kembali bertanya, “Untuk apa mencari Muhammad?”. 

“Untuk dibunuh.” Jawab bahira.

*****

Allahu a'lam

Bagikan: