Kisah ini tentang Syekh Muhammad Jamil Jambek.
Siapa dia?
Bagaimana kisahnya?
Pada saat
itu tahun 1940, HAMKA bercerita tentang pengalamannya tatkala berkunjung pada
ulama tua yang sangat dicintai orang seantero Minangkabau. Kepada HAMKA, orang
ini bercerita sambil berlinang air mata. Dialah Syekh Muhammad Jamil Jambek.
Pada masa
mudanya, orang tua itu adalah seorang pemuda yang nakal. Berbagai
kejahatan anak muda hampir semua telah dilakukannya. Beliau berkata,
sudah tua begini dan sudah lebih dari 40 tahun berlalu, namun kalau ada orang
yang menghisap candu sejauh 100 meter dari masjidku, ini hidungku masih dapat
mengetahui bahwa yang dihisapnya adalah candu.
Beliau mengkisahkan bahwa pada suatu malam dia berjalan atau berpetualang melepaskan hati risau sebagai anak muda, dalam kegelapan malam yang gelap gulita.
Tiba-tiba, terjadilah hal yang tidak disangka-sangka. Ternyata, ada seorang maling di kampung itu yang terpergok oleh masyarakat yang sedang meronda. maling itupun dikejar-kejar massa yang berlarian sambil meneriakkan, Maling… Maling… Maling…!
Maka serentak semua penduduk kampung turut pula keluar mengejar maling. Padahal pada saat itu beliau ada di sana. Rasa takut tiba-tiba membuncah dalam hatinya.
Khawatir kalau penduduk kampung
salah sasaran dan dia yang disangka maling. Apalagi suara warga dan
gedebuk kaki berlari semakin dekat menuju ke arahnya.
Maka
diputuskannya untuk lari dan bersembunyi. Dia melemparkan dirinya pada rerimbunan
rumput semak belukar, lantas dimiringkan tubuhnya dengan merapat ke
tanah. Sementara orang-orang terus berteriak, Maling… Maling…
Maling…!
Sebenarnya, dia menyadari bahwa malam itu dirinya memang juga hendak mencuri, tetapi bukan mencuri harta melainkan mencuri hati gadis impiannya.
Ternyata,
malam itu nasibnya memang sungguh apes. Sebab penduduk kampung itu pun
memasuki rerumputan tempatnya bersembunyi.
Dalam gelap itu itu penduduk kampung melemparkan batu ke sembarang sudut semak. Dia yang bersembunyi, tertimpa pula beberapa lemparan keras batu-batu besar yang mendarat di tubuhnya.
Dia diam tak bergerak sambil menahan sakit. Bahkan
bekas luka lemparan batu tersebut masih membekas di tubuhnya hingga hari
tuanya.
Entah berapa
jam jam dia bersembunyi di semak ladang itu. Sementara itu sakit yang
menyiksanya hanya dia rasakan sendirian. Dia tetap di tempat itu sambil
menunggu dan meyakinkan diri bahwa penduduk kampung telah menjauh dari
tempatnya. Hingga hari pun sampai pada waktu subuh.
Ternyata tempat dia bersembunyi itu adalah sebuah kebun rerumputan di dekat masjid. Seorang muadzin telah melantunkan panggilan subuhnya dengan adzan.
Selama adzan berkumandang, mengalirlah jalan hidup yang pernah dijalaninya dalam alam ingatannya. Dia Pun Menangis. Bukan karena sakit luka terkena lemparan batu, tetapi ingat akan irama hidupnya dalam lantunan adzan subuh itu.
Baru ia
menyadari sampai seusia itu hanya diisi dengan perbuatan sia-sia bahkan
aniaya. Mencuri, merampok, berjudi, main perempuan, dan seluruh kenangan
gelapnya menari-nari dalam alunan adzan subuh.
Bangkitlah
ia dari sembunyi. Diyakinkannya bahwa suasana benar-benar sepi. Maka sebelum para
penduduk datang ke masjid itu dia segera pergi.
Sementara
itu, air matanya mengalir seperti sungai. Air mata penyesalan. Dia akhirnya
pulang. Tetapi pagi itu ia tak hanya hendak pulang ke rumah, namun hendak
pulang ke jalan Allah. Masih ada waktu. Dia bertekad hendak merubah
jalan hidupnya.
Dia teringat
ayahnya. Yaitu sebagai seorang kepala penghulu di Gurun Panjang. Betapa
ia telah lama menahan malu atas tingkahnya yang berandalan itu. Maka setelah
hari siang, dia menyusul ayahnya. Di depan ayahnya itu, itu sambil
tetap berurai air mata dia minta agar dikirim ke Mekkah.
Ayahnya
kaget bercampur haru. Sekarang air mata ayahnya yang tumpah karena
gembira. Dipeluklah anaknya yang telah lama hilang itu. Dia
sendiri, Engku Kepala Negeri Gurun Panjang yang akhirnya mengantarkan
anaknya itu belajar ke Mekkah.
Bertahun-tahun dia tinggal di sana. Berguru dengan beberapa ulama. Hingga akhirnya waktu mengajaknya pulang kembali ke Minangkabau. Dulu dia yang menjadi penjahat, kini menjadi ulama pembaharu di Minangkabau.
Dia adalah ahli
Falaq yang terkenal pada masanya. Syekh Muhammad Jamil Jambek. Masjidnya
berada di tengah sawah, di Bukittinggi. Masyarakat daerah Jam
Gadang Padang pun selalu ramai, banyak para murid yang semangat menimba ilmu
kepadanya.
Kisah ini dikutip dari buku berjudul "Teladan Tarbiyah". Allahi a'lam.