(Sumber Video asli: https://youtu.be/jgDySWfE6Aw)
- Apa perbedaan yang Anda lihat pada kedua cara guru tersebut dalam melibatkan murid?
- Menurut Anda, bagaimana perasaan murid dalam kelas pertama?
- Menurut Anda, bagaimana perasaan murid dalam kelas kedua?
- Dari kedua kelas tersebut, kelas manakah yang menciptakan budaya positif? Mengapa?
UMPAN BALIK
Dari video mengenai potret budaya sekolah, kita dapat mempelajari
budaya sekolah yang berdampak baik pada pengembangan karakter murid.
Aktivitas guru mengajak murid berkeliling sekolah untuk mengamati
lingkungan sekolah dapat membuat murid menganalisis permasalahan yang
terjadi di sekolah dan mendiskusikan solusinya.
Aktivitas tersebut menumbuhkan karakter bernilai kritis pada murid. Nah, dengan demikian kita memahami bahwa sekolah merupakan institusi pembentukan karakter. Oleh karena itu, budaya positif perlu diciptakan agar dapat mendukung pembentukan karakter murid yang diharapkan.
1. PERAN SEKOLAH SEBAGAI INSTITUSI PEMBENTUKAN KARAKTER
Bapak dan Ibu calon guru penggerak, Agar lebih memahami urgensi budaya positif di sekolah, kita perlu
memahami peran sekolah sebagai institusi pembentukan karakter.
Ketika kita berbicara sekolah sebagai institusi pembentukan karakter. Mari kita ingat kembali makna pendidikan sendiri dari Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara:
“Adapun maksud pendidikan yaitu: menuntun segala kekuatan kodrat yang
ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya”
(dikutip dari buku Ki Hajar Dewantara seri 1 pendidikan halaman
20)
Kutipan tersebut mengisyaratkan kita sebagai guru untuk membangun komunitas di sekolah untuk menyiapkan murid di masa depan agar menjadi manusia berdaya tidak hanya untuk pribadi tapi berdampak pada masyarakat.
Pertanyaannya sekarang adalah karakter seperti apa yang bisa menyiapkan murid menjadi manusia dan anggota masyarakat untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan seperti tujuan pendidikan sendiri.
Jika kita mengacu pada Profil Pelajar Pancasila, “Pelajar Indonesia merupakan pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila.”
Pelajar yang memiliki profil yang demikian itu adalah pelajar yang
terbangun utuh keenam dimensi pembentuknya, yaitu:
1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia,
2) mandiri,
3) bergotong-royong,
4) berkebinekaan global,
5) bernalar kritis,
6) kreatif.
2. PELAJAR INDONESIA
Pelajar Indonesia adalah pelajar yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Keimanan dan ketakwaannya termanifestasi dalam akhlak
yang mulia terhadap diri sendiri, sesama manusia, alam, dan
negaranya.
Ia berpikir dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan sebagai panduan untuk memilah dan memilih yang baik dan benar, bersikap welas asih pada ciptaan-Nya, serta menjaga integritas dan menegakkan keadilan.
Pelajar Indonesia senantiasa berpikir dan bersikap terbuka terhadap kemajemukan dan perbedaan, serta secara aktif berkontribusi pada peningkatan kualitas kehidupan manusia sebagai bagian dari warga Indonesia dan dunia. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Pelajar Indonesia memiliki identitas diri merepresentasikan budaya luhur bangsanya. Ia menghargai dan melestarikan budayanya sembari berinteraksi dengan berbagai budaya lainnya. Ia peduli pada lingkungannya dan menjadikan kemajemukan yang ada sebagai kekuatan untuk hidup bergotong royong.
Pelajar Indonesia merupakan pelajar yang mandiri. Ia berinisiatif dan siap mempelajari hal-hal baru, serta gigih dalam mencapai tujuannya. Pelajar Indonesia gemar dan mampu bernalar secara kritis dan kreatif.
Ia menganalisis masalah menggunakan kaidah berpikir saintifik dan mengaplikasikan alternatif solusi secara inovatif. Ia aktif mencari cara untuk senantiasa meningkatkan kapasitas diri dan bersikap reflektif agar dapat terus mengembangkan diri dan berkontribusi kepada bangsa, negara, dan dunia.
Tujuan utama dari pendidikan karakter juga bukan hanya mendorong murid untuk sukses secara moral maupun akademik di lingkungan sekolah, tetapi juga untuk menumbuhkan moral yang baik pada diri murid ketika sudah terlibat di dalam masyarakat.
3. PANDUAN DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN KARAKTER DI
SEKOLAH
Apa yang bisa Anda lakukan sebagai guru penggerak untuk membangun
sekolah sebagai institusi pembentukan karakter? Menurut Character
Education Partnership (2010) ada beberapa panduan dalam pelaksanaan
program pendidikan karakter di sekolah agar program yang dibentuk dapat
berjalan dengan efektif :
(Download file pdf-nya DI SINI)
Membangun karakteristik seseorang bukanlah hal yang mudah, bahkan
sangat sulit. Akan tetapi, sebagai pendidik, kita diberikan tugas untuk
dapat membentuk calon-calon penerus bangsa yang memiliki karakter jujur,
berkeadilan, bertanggung jawab, peduli dan saling menghormati.
4. LANDASAN BUDAYA POSITIF YANG BERPIHAK PADA MURID
Bapak dan Ibu calon guru penggerak, Setelah memahami urgensi dari budaya positif di sekolah, sekarang Anda
akan mempelajari lebih mendalam mengenai budaya positif di sekolah yang
berpihak pada murid. Untuk membahas konsep budaya positif, kita perlu
mengetahui definisi budaya sekolah.
Budaya sekolah menurut Fullan (2007) adalah keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang terlihat dari bagaimana sekolah menjalankan aktivitas sehari-hari. Sedangkan Deal dan Peterson (1999) mendefinisikan budaya sekolah sebagai berbagai tradisi dan kebiasaan keseharian yang dibangun dalam jangka waktu yang lama oleh guru, murid, orang tua, dan staf administrasi yang bekerjasama dalam menghadapi berbagai krisis dan pencapaian.
Dari kedua pengertian tersebut kita melihat bahwa budaya sekolah merupakan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang dibangun dalam jangka waktu lama yang tercermin pada sikap keseharian seluruh komponen sekolah. Dalam kebanyakan sekolah di Indonesia, contoh budaya sekolah yang sudah berjalan dengan baik adalah budaya senyum, salam, dan sapa. Tentunya, budaya sekolah tersebut masih perlu dilaksanakan mengingat perannya yang dapat membuat sekolah menjadi lingkungan yang nyaman.
Dalam modul ini, yang dimaksud dengan budaya positif di sekolah ialah nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada murid agar murid dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat dan bertanggung jawab. Dalam mewujudkan budaya positif ini, guru memegang peranan sentral. Guru perlu memahami posisi apa yang tepat untuk dapat mewujudkan budaya positif baik lingkup kelas maupun sekolah. Selain itu, pemahaman akan disiplin positif juga diperlukan karena sebagai pamong, guru diharapkan dapat menuntun murid untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, selanjutnya, Anda akan mempelajari dua konsep yaitu posisi kontrol guru dan disiplin positif yang menjadi landasan dari budaya positif.
5. POSISI KONTROL GURU
Penting bagi guru untuk memahami bagaimana guru harus memposisikan diri
saat berhadapan dengan murid. Oleh karena itu, dalam sesi ini Anda akan
mempelajari lebih dalam dengan melakukan refleksi “Guru seperti apakah
kita selama ini?”. Dalam komponen kelas, posisi guru dapat dikatakan
sebagai penggerak utama. Hal ini mewujudkan juga adanya kontrol guru
dalam proses belajar mengajar.
Renungkanlah pertanyaan berikut ini: Posisi kontrol guru seperti apa yang dapat mewujudkan budaya positif di sekolah? Selama menjadi guru, sudahkah kita memposisikan diri kita secara tepat? Mari simak video berikut ini untuk lebih memahami Posisi Kontrol Guru.
(Sumber video asli: https://youtu.be/FLBh8ZEFRbU)
Setelah menyimak video mengenai posisi kontrol guru, jawablah
pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
Bapak dan Ibu calon guru penggerak, dalam hal ini kita tidak sedang menyalahkan salah satu situasi. Coba kita ingat ketika kita menjadi murid dulu. Pernahkah kita merasakan perasaan yang sama seperti Anton? Merasa kesal karena dihukum, merasa malu karena dipermalukan di depan kelas, merasa diawasi terus. Bedakan dengan guru pada kejadian 5. Apa yang dirasakan Anton? Betul! Merasa didengarkan.
Untuk mengetahui lebih jelas hubungan guru dan murid berikut penjelasan posisi kontrol guru dalam video yang kita tonton sebelumnya.
Setelah mempelajari konsep mengenai posisi kontrol guru, silakan
melakukan refleksi dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:
6. POSISI KONTROL MANAJER
Bapak dan Ibu calon guru penggerak, dalam menumbuhkan disiplin pada diri murid secara intrinstik, guru perlu
berperan pada posisi kontrol manajer yang bertanya dan membuat kesepakatan
kelas bila murid melakukan kesalahan atau pelanggaran, bukan menuduh,
memberi hukuman atau sebagai teman yang membiarkan murid melakukan
kesalahan atau pelanggaran.
Hal ini dilakukan karena pendidik sebagai pamong yaitu “menuntun” atau memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Anak diberi kebebasan, namun perlu diberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya.
Oleh karena itu, pada kesehariannya, pamong juga berperan sebagai pengontrol untuk mengingatkan murid jika berada dalam bahaya. Pada kesempatan lain, guru juga dapat berperan sebagai teman ketika berinteraksi agar dapat memahami murid dan membangun kedekatan.
7. DISIPLIN POSITIF SEBAGAI LANDASAN UNTUK MEMBANGUN BUDAYA POSITIF DI
SEKOLAH
Bapak dan Ibu calon guru penggerak, setelah mempelajari dan melakukan refleksi mengenai posisi kontrol guru,
pada bagian ini Anda akan mempelajari konsep disiplin positif yang
merupakan landasan untuk membangun budaya positif di sekolah. Sebelum
konsep ini dikupas tuntas, kita perlu mengetahui perbedaan antara disiplin
dan hukuman.
7.1. DISIPLIN DAN HUKUMAN
Masih ingatkah dengan video pada sesi Posisi Kontrol Guru? Ingatkah Anda terhadap guru
Anton pada situasi pertama? Apa yang dilakukan guru tersebut ketika
mengetahui Anton tidak mengerjakan tugas? Betul! Guru tersebut menghukum
Anton.
Kita seringkali memandang bahwa hukuman adalah bentuk yang sama dengan proses pen-disiplin-an dan memberikan hukuman sebagai salah satu langkah dalam proses disiplin murid. Padahal, disiplin dan hukuman memiliki arti yang berbeda dan memberikan efek yang sangat berbeda dalam pembentukan diri murid.
Bapak dan Ibu calon guru penggerak, Pada umumnya orang sering melihat 'disiplin' sebagai hal yang sama dengan 'hukuman', namun disiplin dan hukuman adalah dua hal yang berbeda.
Disiplin merujuk pada praktik mengajar atau melatih seseorang untuk mematuhi peraturan atau perilaku dalam jangka pendek dan jangka panjang. Sementara hukuman dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku murid.
Disiplin dimaksudkan untuk mengembangkan perilaku para murid tersebut serta mengajarkan murid tentang kontrol dan kepercayaan diri dengan berfokus pada apa yang mampu mereka pelajari.
Tujuan akhir dari disiplin adalah agar murid memahami perilaku mereka sendiri, mengambil inisiatif, menjadi bertanggung jawab atas pilihan mereka, dan menghargai diri mereka sendiri dan orang lain.
Untuk lebih memahami perbedaan hukuman dan disiplin, perhatikanlah tabel berikut ini:
Tabel 2 Perbedaan Disiplin dan Hukuman (CJCP, 2012)
(Download file pdf-nya DI SINI)
7.2. HUKUMAN DAN KONSEKUENSI
Anda mungkin menyimpan pertanyaan, “jika tidak ada hukuman, maka bagaimana menghadapi murid yang melakukan pelanggaran atau
kesalahan?” Mari kita menyamakan persepsi bahwa pelanggaran atau kesalahan adalah
kesempatan anak untuk belajar.
Jika ditangani dengan tepat, kesalahan dapat menjadi momen yang baik agar anak mengetahui hal tersebut sebaiknya tidak dilakukan lagi di masa mendatang. Anak juga akan lebih bertanggung jawab serta mengetahui bagaimana memperbaiki situasi yang dihadapinya.
Menurut Nelsen (2021), berikut adalah cara kita merespon kesalahan agar
menjadi pembelajaran yang baik bagi anak.
- Merespon kesalahan dengan kasih sayang dan kebaikan dibanding menyalahkan, menuduh dan menceramahi.
- Berikan pertanyaan yang bisa menimbulkan diskusi tentang konsekuensi yang mungkin terjadi dari tindakannya.
- Melihat kesempatan terjadinya kesalahan untuk didiskusikan bersama anak atau dengan teman-teman lain.
Jika diperhatikan dengan seksama, ketiga cara diatas lebih mengedepankan konsekuensi daripada hukuman. Mengapa konsekuensi lebih dipilih untuk mewujudkan budaya positif dibanding hukuman?
Hukuman bersifat satu arah dari guru ke murid dan seringkali tidak
berhubungan dengan kesalahan murid. Sedangkan menurut Nelsen (2021),
prinsip konsekuensi fokus pada masalah dan solusi sehingga konsekuensi
berhubungan dengan perilaku, penuh hormat kepada murid, bersifat masuk
akal dan bertujuan untuk membantu murid belajar.
8. DISIPLIN POSITIF
Disiplin positif adalah sebuah model disiplin yang difokuskan pada
perilaku positif murid agar menjadi pribadi yang penuh hormat dan
bertanggung (Nelsen, Lott & Glenn, 2000).
Disiplin positif mengajarkan keterampilan sosial dan emosional dan keterampilan kehidupan yang penting dengan cara penuh hormat dan membesarkan hati tidak hanya bagi murid tetapi juga bagi orang dewasa (termasuk orangtua, guru, staf administrasi dan lainnya).
Kebalikan dari disiplin positif adalah disiplin negatif yang berfokus pada hukuman. Disiplin negatif cenderung menghambat perkembangan sosial, emosional dan keterampilan hidup murid. Dengan disiplin positif, guru diharapkan dapat mewujudkan budaya positif baik di kelas maupun sekolah.
8. 1. KRITERIA UTAMA DISIPLIN POSITIF
Untuk melakukan pendekatan disiplin positif, Bapak/Ibu Calon Guru
Penggerak perlu menjadikan kriteria disiplin positif yang dikembangkan
oleh Nelsen (2021) ini sebagai panduan dalam membangun hubungan dengan
murid.
1. Bersikap baik dan tegas di saat yang bersamaan (menunjukkan sikap hormat dan memberi semangat).
2. Membantu murid merasa dihargai dan memiliki keterikatan antara
dirinya dengan guru dan teman di kelasnya, sehingga ia merasa menjadi
bagian dari kelas.
3. Memiliki komitmen untuk mempertimbangkan efektivitas dan dampak jangka
panjang bagi proses belajar murid dari tindakan yang diambil (misalnya;
pemberian hukuman bersifat dapat menyelesaikan masalah dalam jangka
pendek, tetapi berpotensi memberikan dampak negatif dalam proses belajar
pada anak yang bersifat jangka panjang). Dengan begitu, pendidik fokus
pada perubahan dan peningkatan perilaku yang menetap, bukan hanya pada
perilaku yang berhasil ditampakkan pada saat itu.
4. Menerapkan disiplin positif berarti membekali murid dengan keterampilan
sosial dan mendukung pertumbuhan karakter yang baik seperti rasa hormat,
kepedulian terhadap orang lain, komunikasi yang efektif, pemecahan
masalah, tanggung jawab kontribusi, kerja sama.
5. Mengajak murid untuk menemukan bagaimana mereka mampu dan dapat
menggunakan kekuatan diri mereka dengan cara yang membangun.
8.2. PENERAPAN DISIPLIN POSITIF DI SEKOLAH DENGAN PENDEKATAN
HOLISTIK
Menerapkan pendekatan disiplin positif dapat membantu sekolah memainkan
peran penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan manusiawi.
Murid cenderung menjadikan orang dewasa sebagai model; jika murid melihat orang dewasa menggunakan kekerasan fisik atau psikologis,
mereka akan belajar bahwa kekerasan dapat diterima sehingga ada
kemungkinan mereka akan menggunakan kekerasan terhadap orang
lain.
Sekolah memiliki peran penting dalam membimbing, memperbaiki, dan mensosialisasikan kepada murid mengenai perilaku yang sesuai. Agar perubahan berhasil, diperlukan pendekatan terkoordinasi yang melibatkan semua peran di komunitas sekolah.
Sekolah perlu bekerja dengan orangtua untuk memastikan konsistensi antara rumah dan sekolah, serta membekali mereka dengan informasi dan alat untuk mempraktekkan disiplin positif di rumah.
Dengan pemahaman yang komprehensif akan konsep budaya positif berikut konsep mengenai posisi kontrol guru dan disiplin positif yang merupakan landasan dalam membangun budaya positif di sekolah, Anda sudah memiliki bekal yang memadai dalam menjalankan peran anda untuk membangun budaya positif di sekolah.
8.3. UPAYA MEMBANGUN BUDAYA POSITIF YANG BERPIHAK PADA MURID
Bapak dan Ibu calon guru penggerak, setelah mempelajari urgensi budaya positif di sekolah dan konsep budaya
positif beserta hal-hal yang melandasinya, Anda diharapkan dapat membangun
budaya positif di sekolah Anda.
Nah, pertanyaannya, “Apakah dalam membangun budaya positif hanya Anda, sebagai guru, yang berperan mewujudkannya?” Tentunya semua komponen sekolah berperan penting dalam membangun budaya positif di sekolah. Pada bagian ini, Anda akan mendalami bagaimana semua komponen sekolah berperan dalam membangun budaya positif di sekolah.
8.3.1 Membuat Kesepakatan Kelas sebagai Langkah Awal dalam
Membangun Budaya Positif yang Berpihak pada Murid
Upaya dalam membangun budaya positif di sekolah yang berpihak pada
murid diawali dengan membentuk lingkungan kelas yang mendukung
terciptanya budaya positif, yaitu dengan menyusun kesepakatan
kelas.
Kesepakatan kelas yang efektif dapat membantu dalam pembentukan budaya disiplin positif di kelas. Hal ini juga dapat membantu proses belajar mengajar yang lebih mudah dan tidak menekan.
Seringkali permasalahan dengan murid berkaitan dengan komunikasi antara murid dengan guru, terutama ketika murid melanggar suatu aturan dengan alasan tidak mengetahui adanya aturan tersebut. Kurang adanya komunikasi ini menyebabkan relasi murid dan guru menjadi kurang baik.
Sebelum Anda mempelajari lebih mendalam mengenai kesepakatan kelas, renungkanlah dua pertanyaan berikut ini: Apakah selama ini Anda sudah menerapkan pemberian kesepakatan kelas di sekolah Anda? Siapa saja yang turut berperan dalam menentukan kesepakatan kelas?
Kesepakatan kelas berisi beberapa aturan untuk membantu guru dan murid bekerja bersama membentuk kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kesepakatan kelas tidak hanya berisi harapan guru terhadap murid, tapi juga harapan murid terhadap guru. Kesepakatan disusun dan dikembangkan bersama-sama antara guru dan murid.
Dalam menyusun kesepakatan kelas, guru perlu mempertimbangkan hal yang penting dan hal yang bisa dikesampingkan. Murid dapat mengalami kesulitan dalam mengingat banyak informasi, jadi susunlah 4 - 8 aturan untuk setiap kelas. Jika berlebihan, murid akan merasa kesulitan dan tidak mendapatkan makna dari kesepakatan kelas tersebut. Kesepakatan harus disusun dengan jelas sehingga murid dapat memahami perilaku apa yang diharapkan dari mereka.
Kesepakatan yang disusun sebaiknya mudah dipahami dan dapat langsung dilakukan. Oleh karena itu, dalam kesepakatan kelas gunakan kalimat positif seperti, “Saling menghormati” ,“Berjalan jika berada di lorong kelas”. Kalimat positif lebih mudah dipahami murid dibandingkan kalimat negatif yang mengandung kata seperti, “dilarang” atau “tidak”.
Kesepakatan perlu dapat diperbaiki dan dikembangkan secara berkala, seperti setiap awal semester. Untuk mempermudah pemahaman murid, kesepakatan dapat ditulis, digambar, atau disusun sedemikian rupa sehingga dapat dipahami dan disadari oleh murid.
Strategi lain adalah dengan mencetaknya di setiap buku laporan kegiatan murid. Hal ini menjadi strategi yang baik untuk meningkatkan komunikasi antara orang tua dan pihak sekolah.
Untuk memahami kesepakatan kelas secara lebih mendalam, mari kita
saksikan video berikut ini :
(Sumber video asli: https://youtu.be/Pyp0xfaAgh4)
Setelah menyimak video mengenai kesepakatan kelas ini, Anda diharapkan dapat menerapkan hal-hal tersebut dalam kelas Anda.
8.3.2 Menciptakan Visi Sekolah untuk Membangun Budaya Positif yang
Berpihak pada Murid
Upaya berikutnya dalam membangun budaya positif yang berpihak pada murid
adalah mengembangkan visi bersama tentang apa yang ingin dicapai
sekolah.
Daripada berfokus pada masalah dan perilaku buruk, ada baiknya Anda mulai dengan melihat hal-hal positif yang sudah berhasil di sekolah. Ini memberikan landasan untuk membangun visi bersama bagi komunitas sekolah yang berpusat pada diri murid dan pemberdayaannya.
Langkah untuk mendukung pemikiran dasar ini adalah memutuskan pihak yang dapat Anda ajak diskusi mengenai cara bagaimana sekolah dapat membawa visi tersebut menjadi kenyataan.
Ingatlah kembali visi mengenai sekolah impian yang Anda ceritakan pada tahap Mulai dari Diri dalam modul 1.3. Di sana Anda sudah memiliki cita-cita mengenai kondisi sekolah ideal.
Visi yang dikembangkan harus mendukung hal-hal berikut ini:
- Penciptaan lingkungan belajar yang ramah murid yaitu tempat yang di dalamnya baik murid, pendidik, maupun orang tua merasa dihargai dan didukung; serta tempat yang dapat membuat murid merasa bebas untuk mengekspresikan pandangan mereka dan didorong penuh untuk mencapai potensi yang mereka miliki.
- Pengajaran dan penguatan positif yang bertujuan untuk membangun hubungan yang saling peduli dan menghormati.
- Kebijakan dan strategi untuk mengurangi perilaku yang tidak dapat diterima yang melibatkan semua pemangku kepentingan yaitu, pendidik, orang tua, murid dan manajemen sekolah.
Hal-hal di atas jelas memperlihatkan bahwa untuk membangun budaya
positif, keterlibatan guru, murid, manajemen sekolah dan orang tua
sangat diperlukan. Semuanya harus bahu membahu dalam membangun budaya
positif di sekolah.
PENUTUP
Demikianlah upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam membangun budaya
positif di sekolah. Tentunya, untuk mewujudkan hal ini membutuhkan proses
yang yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Selain itu, proses ini
juga membutuhkan keterlibatan semua pemangku kepentingan di sekolah.
Terima kasih sudah dengan antusias mengikuti perjalanan berproses menuju pendidikan Indonesia yang lebih baik. Membentuk budaya sekolah dengan berfokus pada kebutuhan murid dan pertumbuhan karakter positif bukanlah hal yang mudah, tetapi Anda berhasil melaluinya dan merencanakan yang terbaik untuk murid dan sekolah.
Buah dari kerja keras ini dapat terlihat ketika kita menyadari bahwa murid kita telah bertumbuh menjadi seorang dewasa yang sukses di pekerjaan, kehidupan, dan relasinya dengan orang lain dengan karakter yang memiliki integritas tinggi, bertanggung jawab, dapat diandalkan, berbudi pekerti luhur, dan bermanfaat bagi lingkungan dan negara.
Materi terkait budaya positif adalah akhir dari paket modul satu, akan
tetapi perjalanan Anda menjadi Guru Penggerak baru dimulai. Setelah
memahami dan mendalami pondasi yang diperlukan dalam menyusun budaya di
sekolah, Anda akan bertemu dengan paket modul lain yang dapat diterapkan
secara teknis dalam proses belajar mengajar. Anda akan belajar dan
mencoba banyak hal baru yang menarik dan menjadi bekal dalam
mengembangkan pendidikan Indonesia yang semakin baik lagi. Selamat
berproses!
Salam semangat dan salam Guru Penggerak!
*****
DAFTAR PUSTAKA
Learning Management System (LMS) Guru Penggerak
Center for Curriculum Redesign. (2015). Character Education for the
21st Century: What Should Students Learn?. Boston,
Massachusetts.
Centre for Justice and Crime Prevention and the Department of Basic
Education. (2012). Positive Discipline and Classroom Management-Course
Reader. Cape Town.
Deal, T. E. & Peterson, K. D. (1999). Shaping school culture: The
heart of leadership. San Francisco, CA: Jossey-Bass
Durrant, Joan,. (2010). Positive Discipline in Everyday Teaching: A
guide for educators. Save the Children, Sweden.
Fullan, M., (2007) The new meaning of educational change, Routledge,
New York.
Gossen, D. (2004). It's All About We: Rethinking Discipline Using Restitution. Diakses dari https://www.summiteducation.ca/five-positions-of-control/
Gossen, D. (1997). It’s Okay To Make Mistakes. Diakses dari https://www.esd.ca/Programs/Restitution/Documents/It's%20Okay%20to%20Make%20Mistakes%20Article.pdf
Graff, C. E. (2012). The effectiveness of Character Education Programs in Middle and High Schools. Counselor Education Master’s Theses, 127.
Lickona Ph.D, Tom; Schapsa, Eric; Lewis, Catherine. (2002). Eleven
Principles of Effective Character Education. Character Education
Partnership (www.character.org)
Nelsen, J, Lott, L., and Glennn, H.S. (2000). Positive discipline in the classroom: Developing Mutual Respect, Cooperation, and Responsibility in Your Classroom. New York: Three Rivers Press.
Nelsen, J. (2021). Mistakes Are Wonderful Opportunities
To Learn. Diakses dari https://www.positivediscipline.com/articles/mistakes-are-wonderful-opportunities-learn
Nelsen, J. (2021). Focus On Solutions. Diakses dari https://www.positivediscipline.com/articles/focus-solutions
Nofijantie, Lilik. (2012). Peran Lembaga Pendidikan Formal Sebagai Modal Utama Membangun Karakter Siswa. Conference Proceedings: Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS XII). 2947 - 2970
Positive Discipline. (2020). Positive Discipline: Creating respectful relationships in homes and schools. www.positivediscipline.com/what-is-positive-discipline.html. ;
RAPCAN. (2008). An Educator’s Guide to Positive Discipline. Diakses dari www.rapcan.org.za/File_uploads/Resources/teaching%20positive%20discipline%20screen.pdf
Stolp, Stephen, and Stuart C. Smith. (1994). School Culture and
Climate: The Role of the Leader. OSSC Bulletin. Eugene: Oregon School
Study Council, January 1994.
Rekrutmen 49.549 Formasi PPPK Kementerian Agama (Kemenag) 2022
BARU: Rekrutmen Calon Guru Penggerak dan Calon Pengajar Praktik Angkatan 9 dan 10
Lokakarya Orientasi Program Pendidikan Guru Penggerak (PGP) Angkatan 7
Lokakarya 1 Program Pendidikan Guru Penggerak (PGP) Angkatan 7
TERBARU: Penundaan Jadwal Seleksi Akademik PPG Dalam Jabatan Tahun 2022
Pengumuman Hasil Seleksi Administrasi dan Informasi Seleksi Akademik PPG Dalam Jabatan Tahun 2022